Jumat, 09 Desember 2016

BUDAYA SUMBA IMPLIKASINYA TERHADAP KETERGANTUNGAN MASYARAKAT YANG TERIMPLISIT



BUDAYA SUMBA
IMPLIKASINYA TERHADAP KETERGANTUNGAN MASYARAKAT YANG TERIMPLISIT
Koleksi pribadi, lokasi Palla
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
E. B Taylor dalam Soekanto (1996:55) memberikan definisi mengenai kebudayaan ialah: "kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan kepercyaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat". 
Selo Soemardjan dan Soelaeman Somardi dalam Soekanto (1996:55) merumuskan "kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. 
Koentjaraningrat Dari asal arti tersebut yaitu "colere" kemudian "culture"  diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Koentjaraningrat dalam Soekanto, 1969: 55). 
Linton, Budaya adalah keseluruhan sikap & pola perilaku serta pengetahuan yang merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan & dimilik oleh suatu anggota masyarakat tertentu. 
KBBI, Budaya adalah sebuah pemikiran, adat istiadat atau akal budi. Secara tata bahasa, arti dari kebudayaan diturunkan dari kata budaya dimana cenderung menunjuk kepada cara pikir manusia.
Berdasarkan defenisi budaya tersebut di atas, dapat ditarik benang merah tentang budaya Sumba, Budaya Sumba adalah kompleks dari keseluruhan cara pikir, pola kebiasaan yang dilakukan secara bersam-sama, kepercayaan lokal dan adat-istiadat yang berlangsung secara turun-temurun, bahasa dan dialek yang tercipta serta perilaku masyarakat Sumba yang berkelanjutan dipertahankan terus-menerus hingga sekarang.

Budaya sumba seperti budaya-budaya lain pada umumnya adalah warisan leluhur yang harus dijaga, dipelihara dan dipertahankan kemurniannya. Warisan leluhur merupakan tanggung jawab moral generasi-generasi penerus sebagai ahli waris untuk merawat setiap norma dan etika yang terkandung di dalamnya sebagai pilar dan cermim perilaku berbudaya sumba yang baik dan benar.
Warisan leluhur mulai terbentuk  sejak manusia sumba pertama kali menginjakkan kakinya di Tanjung Sasar. Pada titik nol itu leluhur mendaraskan syair-syair adat, yang berkumandang ke timur dan barat, utara dan selatan tanah marapu. Dari sana terbit cahaya,  memenuhi perut bumi yang masih kosong, menerangi jalan dan menghantar leluhur mengisi tanah-tanah marapu yang luas. Dari situ pula terbentuklah norma, etika, tata krama, adat-istiadat, perilaku, pola pikir, kepercayaan (animisme), menjadi budaya yang kita kenal sekarang “budaya Sumba”. Humaniora dengan sendirinya berkembang dan melekat mempengaruhi  kehidupan orang sumba, dan akan tetap menjadi budaya kekal sepanjang masa.

SEKILAS TENTANG SUMBA DAN MARAPU
SUMBA
Sumba berasal dari kata Humba atau Hubba yang berarti asli. Penduduk pulau Sumba biasa menyebut pulau mereka dengan nama Tana Humba yang berarti tanah asli, dan mereka menyebut dirinya sebagai Tau Humba atau orang-orang asli. Penduduk  pulau  Sumba sendiri sebenarnya bukan penduduk asli, tetapi pendatang dari berbagai daerah seperti Sawu, Bima, Ende, Makasar, Bugis, Selayar, Buton, dan yang paling utama dikatakan dalam beberapa cerita, nenek moyang orang Sumba berasal dari Malaka Tana Bara atau dari Semenanjung Malaka.
Menurut  letak  geografisnya pulau Sumba adalah satu dari beberapa pulau besar yang ada di Nusa Tenggara Timur, yang memiliki empat kabupaten yaitu, Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Dua kabupaten yang disebutkan terakhir adalah dua Kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Sumba Barat. Tetapi pemekaran Kabupaten tersebut tidak merubah sistem kebudayaan Sumba yang telah turun-temurun merupakan satu sistem kebudayaan yang tidak terpisahkan. Perubahan struktur pemerintahan yang terjadi di Sumba tidak dapat mengubah struktur kehidupan sosial yang kolektif, atau yang telah ada sebelumnya.
MARAPU
Marapu berasal dari dua kata yaitu ma berarti ‘Yang’ dan rapu artinya ‘dihormati’, ‘disembah’, dan ‘didewakan’. Ada juga mengatakan Marapu terdiri dari kata mera artinya ‘serupa’ dan appu artinya ‘nenek moyang’. Sehingga banyak yang mengartikan Marapu adalah roh-roh leluhur atau nenek moyang.
Kehadiran Marapu diwujudkan dalam berbagai bentuk benda, seperti tombak, emas, gading, gong, manik-manik dan lain sebagainya. Di samping para leluhur dijadikan objek penyembahan, ada kampung-kampung tertentu yang menyembah binatang-binatang tertentu, dan yang pada dasarnya mewujudkan Marapu. Binatang-binatang tersebut seperti ular, buaya, anjing, dan lain sebagainya.
Marapu dipandang sebagai perantara antara Sang Pencipta dan manusia. Sang Marapu inilah yang menyampaikan permohonan kepada Sang Pencipta dan Sang Pencipta menjawabnya melalui Marapu (dalam konsep modern disebut animisme). Bagi masyarakat Sumba, Marapu menjadi falsafah hidup bagi berbagai ungkapan budaya Sumba. Mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu), rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunannya, sampai kepada seluruh aspek kehidupan dan kegiatan orang Sumba.
Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas empat kabupaten, Sumba Barat,Sumba Barat Daya, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya di tengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup di tengah-tengah masyarakat Sumba. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata. Masyarakat Sumba terkenal akan budayanya yang masih sangat kental meskipun saat ini telah dimasuki oleh banyaknya pengaruh dari luar masyarakat Sumba.

IMPLIKASINYA TERHADAP KETREGANTUNGAN YANG TERIMPLIST
Pola perilaku masyarakat sumba berkelanjutan menjadi tatanan berstruktur  terawat sangat apik, dipertahankan dan tak akan pudar hingga beratus tahun yang akan datang. Kendati zaman, dekade dan waktu berjalan tanpa solusi, budaya Sumba akan tetap menjadi sarana bahkan martabat masyarakat yang senantiasa membathin tanpa ujung. Dinamika dan proses kehidupan, bertahtanya pola pikir yang stagnan bahkan primitif menyebabkan runtuhnya perilaku itu sendiri. Jelas bahwa implikasi kepada ketergantungan itu semakin tidak terbendung. Siapa akan menyebut siapa? karena perilaku itu adalah martabat, jati diri masyarakat sumba.
Ketergantungan mengandung makna kiasan yang mana fenomena tadi mendukung upaya mempertahankan budaya sumba sebagai  warisan kepada penerus yang  dikelola tidak hanya sebatas tanggung jawab moril tetapi lebih pada kewajiban. Nilai luhur budaya sumba sifatnya statis, sekalipun ingin didengkol pengaruh pragmatisme beberapa kalangan akan sangat sulit mengubah perilaku masyarakat. Ini adalah proses yang sedari awal sulit dimentahkan oleh kaum pragmatisme. Tonggak sejarah peradaban berintegrasi menyamakan persepsi masyarakat menjadi perilaku yang terpola dan membaur, melebur ke pundi-pundi kehidupan orang sumba. Mungkin akan sangat tepat kaum pragmatisme berpijak pada pribahasa ini “Da spatium moram, mala cuncta ministrant impetus” (berilah sedikit kebebasan dan waktu, tergesa-gesa hanya akan merusak segalanya).
Pertanyaan mendalam : Pengaruhkah pola pikir ini terhadap generasi mendatang?
Saya akan menguraikan dari sudut pandang kebanyakan kaum muda
Generation Lost
Tepat sekali ungkapan pendahulu : generasi muda adalah generasi bangsa yang besar, generasi muda adalah penerus kemajuan bangsa, generasi muda adalah wujud nyata dari bangsa yang kuat, generasi muda jangan kehilangan semangat  juang,  jangan kehilangan etos kerja serta perjuangan membela kebenaran.
Apakah semua itu sudah memenuhi harapan orang sumba? Jawabannya BELUM!!! Tidak untuk mengurangi rasa memiliki budaya sumba, perilaku kehidupan yang terpola ini membawa dampak yang buruk  bagi kaum muda. Kita tahu bahwa perkembangan yang begitu maju sekarang ini menuntut kaum untuk memiliki daya saing yang tinggi, daya saing yang didukung dengan semangat perjuangan agar mampu mementaskan diri di panggung, panggung yang tidak lagi mengenal kawan dan teman, tetapi mengutamakan kemampuan dan kreatifitas masing-masing kaum muda. Beranjak dari gejolak global ini, jika perilaku kehidupan kita masih terbawa pola kebelakang maka kita akan sulit mendapatkan panggung, kita kehilangan generasi penerus. Generation Lost adalah wujud nyata yang dialami atau dirasakan dari budaya sumba, hal ini tidak serta merta tanpa alasan. Masalah yang sering terjadi ketika berhadapa dengan budaya sumba adalah adat kematian, adat pembelisan, upacara-upacara lainnya : gali tulang orang mati, bangun rumah adat, upacara berkaitan dengan kepercayaan (animisme) dan lain sebagainya. Saya tidak ingin mengulas masing-masing upacara secara detail. Acara-acara tadi tentu membutuhkan pengeluaran yang besar (materi). Khusus untuk pembelisan dan kematian, kedua acara ini sangat menguras tenaga dan pikiran. Lebih lanjut, dengan semakin terbawanya arus logika dan pengaruh luar, upacara adat yang sebenarnya bisa disederhanakan malah semakin diperumit. Indikasinya terlihat bahwa saling pengertian bukan jaminan lagi. Hal semacam ini diturunkan dari generasi ke generasi, dan tidak akan pernah mendapatkan solusi. Mereka yang mampu akan sangat dengan mudah mendapatkan sesatu atau mencari hewan (Kuda, Kerbau, Sapi, Babi), bagi yang tidak mampu dipaksa harus mampu entah apa pun resikonya. Khusus mereka yang tidak mampu bukan tidak mungkin timbul persoalan yang berkepanjangan, anak-anak diterlentarkan, tanah digadai atau dijual, maraknya pencurian, perjudian dan bahkan pembunuhan tidak terhindarkan. Anak-anak  tidak mendapatkan perhatian yang maksimal, kesehatan dan pendidikan terganggu. Disinilah letak permasalahannya, kita kehilangan generasi penerus. Mereka yang susah dan terbelakangkan akan tetap seperti itu selama-lamanya. Perilaku manjaga harga diri, martabat dan kedudukan diperjuangkan lantas mematikan semangat generasi penerus.
Productivity Lost
Berkembangnya suatu bangsa dan daerah  diukur  dari tingkat produktifitas setiap komponen dan lapisan masyarakat. Elemen-elemen yang mempengaruhi keseluruhan komponen ini adalah sektor pertanian, kesehatan dan pendidikan. Tolak ukur yang dapat diambil adalah ketersediaan bahan-bahan pokok makanan, derajat kesehatan yang tinggi serta tingkat dan mutu pendidikan yang memadai. Kelihatannya yang mampu memenuhi semua kriteria ini adalah kaum bermodal atau yang berpenghasilan cukup dan lebih. Nah masalah yang menyertai keberlangsungan pemenuhan kebutuhan berdasarkan kriteria itu dengan keadaan atau situasi yang terjadi di masyarakat sumba adalah budaya sumba itu sendiri. Pemeretaan pembangunan fasilitas umum kesehatan dan pendidikan sudah memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya, artinya ketersediaan fasilitas kesehatan dan pendidkan di setiap desa di pulau sumba hampir terpenuhi. Namum tingkat pemanfaatnya yang masih sangat rendah. Jika kita melihat secara jelih dan seksama, angka morbiditas dan mortilitas akibat beberapa penyakit masih tinggi, angka buta huruf dan tingkat pendidikan rendah (tamatan SD dan SMP) juga masih tinggi, hal-hal semacam ini menjadi ukuran kehilangan produktifitas. Lantas mengapa budaya sumba mempengaruhi rendahnya produktifitas orang sumba? Budaya sumba membelit setiap lini kehidupan orang sumba, utang berkepanjangan, masalah adat yang semakin rumit, akibatnya anak-anak hidup tidak sehat, anak-anak tidak sekolah, anak-anak tidak mampu bersaing di masa yang akan datang. Kita saksikan sendiri banyak orang-oarang sumba yang mencari kerja di malaysia, karena apa? Kerena mereka tidak mampu mengasilkan sesuatu di tanah sendiri, tidak mendapatkan kesempatan untuk sekolah, dan dipaksa harus  bekerja di Negeri orang. Upah atau hasil dari jeri payah mereka pun dijadikan bulan-bulanan untuk melunasi utang adat, sungguh sangat MIRIS!! Kembali kepada permasalahan tadi, kehilangan produktifitas sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat sumba, yang mana segala upaya menghasilkan sesuatu terkendala dengan keadaan atau situasi yang menyertai. Efek jerah atau bayang-bayang ingin melenturkan kerasnya budaya sumba seolah-olah merajut tali dari bumi ke langit....MUSTAHIL!!
Inilah perilaku-perilaku yang dipertahankan berkembang lantas mempersulit masyarakat sumba itu sendiri. Pada dasarnya budaya sumba itu luhur, budaya sumba itu seni, budaya sumba itu sakral. Budaya sumba sebenarnya mampu meyekolahkan anak-anak sumba ke tingkat pendidikan yang tinggi, mampu mensejahterakan genarasi muda. Banyak aspek dari budaya sumba yang pantas dijadikan aset untuk menghasilkan sesuatu. Namun mengapa anak-anak sumba sengasara, menderita dan kelaparan.

Tulisan ini tidak bermaksud menghilangkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya sumba, tidak untuk memanas-nasi situasi, tulisan ini berdasarkan kaca mata batin dan niat yang tulus memperbaiki pola pikir kita bersama. Juga tulisan ini tidak mengandung sifat mencelah atau menjatuhkan, hanyalah kesadaran penulis tentang pentingnya keberlangsungan generasi masa depan yang tumbuh dari desa-desa terpencil,  mampu mengangkat masa depan daerah ini setinggi-tingginya, keluar dari zona daerah terbelakang.

Demikian tulisan ini dibuat untuk dibaca, dihayati dan dimaklumi bersama.
Mohon maaf jika ada kesalahan, kata-kata yang tidak berkenan kepada kita semua.
Akhirnya atas nama pribadi saya ucapkan salam dan hormat untuk kita semua.
----------------
Mario Marsan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar