BUDAYA SUMBA
IMPLIKASINYA
TERHADAP KETERGANTUNGAN MASYARAKAT YANG TERIMPLISIT
Budaya adalah suatu cara
hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
E. B Taylor dalam Soekanto (1996:55)
memberikan definisi mengenai kebudayaan ialah: "kebudayaan adalah kompleks
yang mencakup pengetahuan kepercyaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan
lain kemampuan-kemampuan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat".
Selo Soemardjan dan Soelaeman Somardi dalam Soekanto
(1996:55) merumuskan "kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat.
Koentjaraningrat Dari asal arti tersebut yaitu "colere"
kemudian "culture" diartikan sebagai segala daya dan
kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Koentjaraningrat dalam
Soekanto, 1969: 55).
Linton, Budaya adalah keseluruhan sikap
& pola perilaku serta pengetahuan yang merupakan suatu kebiasaan yang
diwariskan & dimilik oleh suatu anggota masyarakat tertentu.
KBBI, Budaya adalah sebuah pemikiran, adat
istiadat atau akal budi. Secara tata bahasa, arti dari kebudayaan diturunkan
dari kata budaya dimana cenderung menunjuk kepada cara pikir manusia.
Berdasarkan defenisi budaya tersebut di atas, dapat
ditarik benang merah tentang budaya Sumba, Budaya
Sumba adalah kompleks dari keseluruhan cara pikir, pola kebiasaan yang
dilakukan secara bersam-sama, kepercayaan lokal dan adat-istiadat yang
berlangsung secara turun-temurun, bahasa dan dialek yang tercipta serta
perilaku masyarakat Sumba yang berkelanjutan dipertahankan terus-menerus hingga
sekarang.
Budaya sumba seperti
budaya-budaya lain pada umumnya adalah warisan leluhur yang harus dijaga,
dipelihara dan dipertahankan kemurniannya. Warisan leluhur merupakan tanggung
jawab moral generasi-generasi penerus sebagai ahli waris untuk merawat setiap
norma dan etika yang terkandung di dalamnya sebagai pilar dan cermim perilaku
berbudaya sumba yang baik dan benar.
Warisan leluhur mulai
terbentuk sejak manusia sumba pertama
kali menginjakkan kakinya di Tanjung Sasar. Pada titik nol itu leluhur mendaraskan
syair-syair adat, yang berkumandang ke timur dan barat, utara dan selatan tanah
marapu. Dari sana terbit cahaya, memenuhi
perut bumi yang masih kosong, menerangi jalan dan menghantar leluhur mengisi
tanah-tanah marapu yang luas. Dari situ pula terbentuklah norma, etika, tata
krama, adat-istiadat, perilaku, pola pikir, kepercayaan (animisme), menjadi
budaya yang kita kenal sekarang “budaya Sumba”. Humaniora dengan sendirinya berkembang dan melekat
mempengaruhi kehidupan orang sumba, dan
akan tetap menjadi budaya kekal sepanjang masa.
SEKILAS
TENTANG SUMBA DAN MARAPU
SUMBA
Sumba berasal dari kata Humba atau Hubba yang berarti asli. Penduduk pulau Sumba
biasa menyebut pulau mereka dengan nama Tana Humba yang berarti tanah
asli, dan mereka menyebut dirinya sebagai Tau Humba atau orang-orang asli.
Penduduk pulau Sumba sendiri sebenarnya bukan penduduk
asli, tetapi pendatang dari berbagai daerah seperti Sawu, Bima, Ende, Makasar,
Bugis, Selayar, Buton, dan yang paling utama dikatakan dalam beberapa cerita,
nenek moyang orang Sumba berasal dari Malaka
Tana Bara atau dari Semenanjung Malaka.
Menurut letak geografisnya pulau Sumba adalah satu dari
beberapa pulau besar yang ada di Nusa Tenggara Timur, yang memiliki empat
kabupaten yaitu, Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya.
Dua kabupaten yang disebutkan terakhir adalah dua Kabupaten yang baru
dimekarkan dari Kabupaten Sumba Barat. Tetapi pemekaran Kabupaten tersebut
tidak merubah sistem kebudayaan Sumba yang telah turun-temurun merupakan satu
sistem kebudayaan yang tidak terpisahkan. Perubahan struktur pemerintahan yang
terjadi di Sumba tidak dapat mengubah struktur kehidupan sosial yang kolektif,
atau yang telah ada sebelumnya.
MARAPU
Marapu berasal dari dua kata yaitu ma berarti ‘Yang’ dan rapu artinya
‘dihormati’, ‘disembah’, dan ‘didewakan’. Ada juga mengatakan Marapu terdiri
dari kata mera artinya ‘serupa’ dan appu artinya ‘nenek moyang’. Sehingga
banyak yang mengartikan Marapu adalah roh-roh leluhur atau nenek moyang.
Kehadiran Marapu diwujudkan dalam berbagai bentuk
benda, seperti tombak, emas, gading, gong, manik-manik dan lain sebagainya. Di
samping para leluhur dijadikan objek penyembahan, ada kampung-kampung tertentu
yang menyembah binatang-binatang tertentu, dan yang pada dasarnya mewujudkan
Marapu. Binatang-binatang tersebut
seperti ular, buaya, anjing, dan lain sebagainya.
Marapu dipandang sebagai perantara antara Sang
Pencipta dan manusia. Sang Marapu inilah yang menyampaikan permohonan kepada
Sang Pencipta dan Sang Pencipta menjawabnya melalui Marapu (dalam konsep modern
disebut animisme). Bagi masyarakat Sumba, Marapu menjadi falsafah hidup bagi
berbagai ungkapan budaya Sumba. Mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah
ibadat (umaratu), rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunannya, sampai
kepada seluruh aspek kehidupan dan kegiatan orang Sumba.
Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan
terbagi atas empat kabupaten, Sumba Barat,Sumba Barat Daya, Sumba Tengah dan
Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya di
tengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara
Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas
daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup di tengah-tengah
masyarakat Sumba. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya
Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah
adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan
tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan
lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata. Masyarakat Sumba terkenal
akan budayanya yang masih sangat kental meskipun saat ini telah dimasuki oleh
banyaknya pengaruh dari luar masyarakat Sumba.
IMPLIKASINYA TERHADAP KETREGANTUNGAN
YANG TERIMPLIST
Pola perilaku masyarakat sumba berkelanjutan menjadi
tatanan berstruktur terawat sangat apik,
dipertahankan dan tak akan pudar hingga beratus tahun yang akan datang. Kendati
zaman, dekade dan waktu berjalan tanpa solusi, budaya Sumba akan tetap menjadi
sarana bahkan martabat masyarakat yang senantiasa membathin tanpa ujung. Dinamika
dan proses kehidupan, bertahtanya pola pikir yang stagnan bahkan primitif menyebabkan
runtuhnya perilaku itu sendiri. Jelas bahwa implikasi kepada ketergantungan itu
semakin tidak terbendung. Siapa akan menyebut siapa? karena perilaku itu adalah
martabat, jati diri masyarakat sumba.
Ketergantungan mengandung makna kiasan yang mana
fenomena tadi mendukung upaya mempertahankan budaya sumba sebagai warisan kepada penerus yang dikelola tidak hanya sebatas tanggung jawab
moril tetapi lebih pada kewajiban. Nilai
luhur budaya sumba sifatnya statis, sekalipun ingin didengkol pengaruh pragmatisme
beberapa kalangan akan sangat sulit mengubah perilaku masyarakat. Ini
adalah proses yang sedari awal sulit dimentahkan oleh kaum pragmatisme. Tonggak
sejarah peradaban berintegrasi
menyamakan persepsi masyarakat menjadi perilaku yang terpola dan membaur,
melebur ke pundi-pundi kehidupan orang sumba. Mungkin akan sangat tepat kaum
pragmatisme berpijak pada pribahasa ini “Da spatium moram, mala cuncta ministrant impetus”
(berilah sedikit kebebasan dan waktu, tergesa-gesa hanya akan merusak
segalanya).
Pertanyaan mendalam : Pengaruhkah pola pikir ini terhadap
generasi mendatang?
Saya akan menguraikan dari sudut pandang
kebanyakan kaum muda
Generation
Lost
Tepat sekali ungkapan pendahulu : generasi
muda adalah generasi bangsa yang besar, generasi muda adalah penerus kemajuan
bangsa, generasi muda adalah wujud nyata dari bangsa yang kuat, generasi muda
jangan kehilangan semangat juang, jangan kehilangan etos kerja serta perjuangan
membela kebenaran.
Apakah semua itu sudah memenuhi harapan
orang sumba? Jawabannya BELUM!!! Tidak untuk mengurangi rasa memiliki budaya
sumba, perilaku kehidupan yang terpola ini membawa dampak yang buruk bagi kaum muda. Kita tahu bahwa perkembangan
yang begitu maju sekarang ini menuntut kaum untuk memiliki daya saing yang
tinggi, daya saing yang didukung dengan semangat perjuangan agar mampu mementaskan
diri di panggung, panggung yang tidak lagi mengenal
kawan dan teman, tetapi mengutamakan kemampuan dan kreatifitas masing-masing
kaum muda. Beranjak dari gejolak global ini, jika perilaku kehidupan kita masih
terbawa pola kebelakang maka kita akan sulit mendapatkan panggung, kita
kehilangan generasi penerus. Generation Lost adalah wujud nyata yang dialami atau
dirasakan dari budaya sumba, hal ini tidak serta merta tanpa alasan. Masalah yang
sering terjadi ketika berhadapa dengan budaya sumba adalah adat kematian, adat
pembelisan, upacara-upacara lainnya : gali tulang orang mati, bangun rumah
adat, upacara berkaitan dengan kepercayaan (animisme) dan lain sebagainya. Saya
tidak ingin mengulas masing-masing upacara secara detail. Acara-acara tadi
tentu membutuhkan pengeluaran yang besar (materi). Khusus untuk pembelisan dan
kematian, kedua acara ini sangat menguras tenaga dan pikiran. Lebih lanjut,
dengan semakin terbawanya arus logika dan pengaruh luar, upacara adat yang
sebenarnya bisa disederhanakan malah semakin diperumit. Indikasinya terlihat
bahwa saling pengertian bukan jaminan lagi. Hal semacam ini diturunkan dari
generasi ke generasi, dan tidak akan pernah mendapatkan solusi. Mereka yang
mampu akan sangat dengan mudah mendapatkan sesatu atau mencari hewan (Kuda,
Kerbau, Sapi, Babi), bagi yang tidak mampu dipaksa harus mampu entah apa pun resikonya.
Khusus mereka yang tidak mampu bukan tidak mungkin timbul persoalan yang berkepanjangan,
anak-anak diterlentarkan, tanah digadai atau dijual, maraknya pencurian,
perjudian dan bahkan pembunuhan tidak terhindarkan. Anak-anak tidak
mendapatkan perhatian yang maksimal, kesehatan dan pendidikan terganggu. Disinilah
letak permasalahannya, kita kehilangan generasi penerus. Mereka yang susah dan
terbelakangkan akan tetap seperti itu selama-lamanya. Perilaku manjaga harga
diri, martabat dan kedudukan diperjuangkan lantas mematikan semangat generasi
penerus.
Productivity
Lost
Berkembangnya suatu bangsa dan
daerah diukur dari tingkat produktifitas setiap komponen dan
lapisan masyarakat. Elemen-elemen yang mempengaruhi keseluruhan komponen ini
adalah sektor pertanian, kesehatan dan pendidikan. Tolak ukur yang dapat diambil
adalah ketersediaan bahan-bahan pokok makanan, derajat kesehatan yang tinggi
serta tingkat dan mutu pendidikan yang memadai. Kelihatannya yang mampu
memenuhi semua kriteria ini adalah kaum bermodal atau yang berpenghasilan cukup
dan lebih. Nah masalah yang menyertai keberlangsungan pemenuhan kebutuhan berdasarkan
kriteria itu dengan keadaan atau situasi yang terjadi di masyarakat sumba
adalah budaya sumba itu sendiri. Pemeretaan pembangunan fasilitas umum
kesehatan dan pendidikan sudah memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya,
artinya ketersediaan fasilitas kesehatan dan pendidkan di setiap desa di pulau
sumba hampir terpenuhi. Namum tingkat pemanfaatnya yang masih sangat rendah. Jika
kita melihat secara jelih dan seksama, angka morbiditas dan mortilitas akibat
beberapa penyakit masih tinggi, angka buta huruf dan tingkat pendidikan rendah
(tamatan SD dan SMP) juga masih tinggi, hal-hal semacam ini menjadi ukuran
kehilangan produktifitas. Lantas mengapa budaya sumba mempengaruhi rendahnya
produktifitas orang sumba? Budaya sumba membelit setiap lini kehidupan orang
sumba, utang berkepanjangan, masalah adat yang semakin rumit, akibatnya
anak-anak hidup tidak sehat, anak-anak tidak sekolah, anak-anak tidak mampu
bersaing di masa yang akan datang. Kita saksikan sendiri banyak orang-oarang
sumba yang mencari kerja di malaysia, karena apa? Kerena mereka tidak mampu
mengasilkan sesuatu di tanah sendiri, tidak mendapatkan kesempatan untuk sekolah,
dan dipaksa harus bekerja di Negeri
orang. Upah atau hasil dari jeri payah mereka pun dijadikan bulan-bulanan untuk
melunasi utang adat, sungguh sangat MIRIS!! Kembali kepada permasalahan tadi, kehilangan
produktifitas sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat sumba, yang mana segala
upaya menghasilkan sesuatu terkendala dengan keadaan atau situasi yang
menyertai. Efek jerah atau bayang-bayang ingin melenturkan kerasnya budaya sumba
seolah-olah merajut tali dari bumi ke langit....MUSTAHIL!!
Inilah perilaku-perilaku yang
dipertahankan berkembang lantas mempersulit masyarakat sumba itu sendiri. Pada dasarnya
budaya sumba itu luhur, budaya sumba itu seni, budaya sumba itu sakral. Budaya sumba
sebenarnya mampu meyekolahkan anak-anak sumba ke tingkat pendidikan yang
tinggi, mampu mensejahterakan genarasi muda. Banyak aspek dari budaya sumba
yang pantas dijadikan aset untuk menghasilkan sesuatu. Namun mengapa anak-anak
sumba sengasara, menderita dan kelaparan.
Tulisan ini tidak bermaksud menghilangkan nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam budaya sumba, tidak untuk memanas-nasi situasi, tulisan ini
berdasarkan kaca mata batin dan niat yang tulus memperbaiki pola pikir kita
bersama. Juga tulisan ini tidak mengandung sifat mencelah atau menjatuhkan,
hanyalah kesadaran penulis tentang pentingnya keberlangsungan generasi masa
depan yang tumbuh dari desa-desa terpencil, mampu mengangkat masa depan daerah ini
setinggi-tingginya, keluar dari zona daerah terbelakang.
Demikian tulisan ini dibuat untuk dibaca,
dihayati dan dimaklumi bersama.
Mohon maaf jika ada kesalahan, kata-kata
yang tidak berkenan kepada kita semua.
Akhirnya atas nama
pribadi saya ucapkan salam dan hormat untuk kita semua.
----------------
Mario Marsan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar