LI’I MARAPU
(Rio Marsan)
Foto by Adi Umbu Deta Doc.Pribadi, Lokasi Kampung Situs Ratenggaro-Kodi Balaggar-SBD |
TERNYATA
tak semudah yang saya bayangkan untuk melanjutkan catatan sebelumnya yang
sempat tertunda dan “terlunta-lunta” karena “sesuatu hal”. Mungkin karena saya
sudah berjarak dengan obyek yang telah saya tapaki sehingga melupakan semua
referensi yang sempat singgah di kepala. Yang teringat di kepala adalah bahwa
Pulau Sumba itu identik dengan sabana, padang rumput yang sangat luas, yang
ketika musim kering seperti saat ini akan kelihatan kuning kecoklatan, seperti
hamparan ladang emas.
Referensi lainnya yang sedikit saya
ingat adalah cerita purba tentang kehidupan manusia yang paling purba di Sumba
khususnya Sumba Barat yang dapat diperoleh dalam sebuah hikayat suci tentang
asal-usul nenek moyang yang biasa dikenal dengan Li’i Merapu. Dalam khasanah
budaya orang Sumba, untuk memperkenalkan hikayat ini biasanya digelar secara
khusus diwaktu malam yang dikisahkan oleh seorang penyanyi dan seorang penderas
atau pencerita, secara bergantian, sahut-menyahut diselingi alunan musik gong
dan genderang.
Dalam suasana khidmat dan dengan
hati terharu penduduk kampung mendengarkan sejarah kuno yang diceriterakan
dengan penuh penghayatan. Singkat cerita, di pantai utaralah nenek moyang
mereka pertama kali menapakkan kakinya. Pantai itu sekarang lebih dikenal
dengan Tanjung Sasar. Di Tanjung Sasar dahulu kala ada Lende Watu atau
Jembatan Batu yang menyambung pulau Sumba dan Bima, bahkan ada yang
menceritakan jembatan batu tersebut membentang jauh sampai ke pantai di kawasan
Manggarai, Pulau Folres bagian barat. Tetapi oleh suatu kekuatan alam jembatan
itu putus, sehingga pulau Sumba terpisah dari pulau Sumbawa dan Flores.
Sementara itu, masyarakat Sumba Barat secara tradisional adalah bertani atau bersawa dan berladang dengan padi yang suci atau disebut pare sebagai tanaman pokok yang sangat dihormati. Pare, sebuah kosakata yang mirip dengan pari, sebutan padi oleh orang-orang Jawa. Padi hanya ditanam di daerah-daerah yang mudah mendapatkan pasokan air atau yang baik saluran irigasinya. Sementara lahan-lahan lain yang sulit memperoleh air, digunakan bercocok tanam dengan sistem tadah hujan dengan tanaman semusim seperti jagung. Karena hampir seluruh dataran pulau ini kering, seperti halnya pulau-pulau lain di kawasan NTT, maka mereka “beramai-ramai” bertanam jika musim hujan telah tiba. Musim hujan hanya datang di awal bulan Desember hingga akhir Maret dengan frekwensi hujan tertinggi dan deras rata-rata terjadi pada bulan Januari dan Februari.
Sementara itu, masyarakat Sumba Barat secara tradisional adalah bertani atau bersawa dan berladang dengan padi yang suci atau disebut pare sebagai tanaman pokok yang sangat dihormati. Pare, sebuah kosakata yang mirip dengan pari, sebutan padi oleh orang-orang Jawa. Padi hanya ditanam di daerah-daerah yang mudah mendapatkan pasokan air atau yang baik saluran irigasinya. Sementara lahan-lahan lain yang sulit memperoleh air, digunakan bercocok tanam dengan sistem tadah hujan dengan tanaman semusim seperti jagung. Karena hampir seluruh dataran pulau ini kering, seperti halnya pulau-pulau lain di kawasan NTT, maka mereka “beramai-ramai” bertanam jika musim hujan telah tiba. Musim hujan hanya datang di awal bulan Desember hingga akhir Maret dengan frekwensi hujan tertinggi dan deras rata-rata terjadi pada bulan Januari dan Februari.
Seperti halnya masyarakat tani di
Pulau Jawa, masyarakat petani Sumba Barat pun mempunyai tata cara atau prosesi
ritual tersendiri dalam kegiatan pertaniannya. Setidaknya terdapat beberapa
rangkaian prosesi ritualnya [http://www.tamanbudayantt.net]:
Pertama adalah urata patama keto
atau upacara mengasah parang. Upacara ini mempunyai tujuan supaya parang
atau pisau dan alat-alat pertanian lainnya dapat berfungsi dengan baik pada
waktu digunakan untuk memotong hewan besar atau mengerjakan kebun.
Kedua adalah urata pogo wasu atau
upacara menebang pohon yang dirangkai dengan urata tenu atau upacara
membakar kayu dan urata wuke oma atau membuka kebun, dimana rangkaian
upacara ini sebagai pemohon belas kasih pada dewa untuk meminta kesucian atau
keberkahan tanah agar menghasilkan panen yang melimpah. Masih dalam tahapan ini
juga dirangkai dengan urata dengu ura atau memohon hujan agar hujan
turun dan mampu menumbuhkan. Semua prosesi dalam tahap ini dipimpin oleh
seorang rato atau ratu dengan mengambil ayam yang darahnya dipercikan ke
parang, pohon, maupun tanah.
Ketiga atau yang terakhir adalah urata
dengi ina atau upacara memetik hasil. Biasanya upacara memetik hasil ini
diiringi dengan pesta panen. Tentunya dengan acara-acara yang lebih meriah,
termasuk juga acara pesta perkawinan seringkali dilakukan pasca memetik hasil
ini.
Sementara itu, salah satu keahlian
masyarakat Sumba yang sangat luar biasa adalah menunggang kuda. Orang Sumba
sudah mulai belajar menunggang kuda sejak berusia anak-anak, bahkan guyonan kawan-kawan
seringkali mengatakan bahwa anak-anak Sumba belajar berkuda sebelum mereka
belajar berjalan! Ketika beranjak dewasa, mereka menunjukkan keahlian ini lewat
keikutsertaannya dalam tradisi perang berkuda yang disebut dengan “pasola”,
yaitu permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung
kuda yang dipacu dengan kencang antara dua kelompok yang saling berhadapan.
Biasanya tradisi pasola dilakukan
pada bulan Februari dan Maret menjelang awal musim tanam. Tradisi ini sangat
berbahaya karena taruhannya nyawa. Permainan ketangkasan saling melempar
lembing ini tidak akan dihentikan jika belum ada yang terluka atau darah yang
mengalir. Darah yang tumpah dipercaya akan mampu menyuburkan bumi sekaligus
sebagai bentuk pengorbanan untuk memohon perlindungan dewa dan nenek moyang.
Memang sangat mengerikan, tetapi inilah fakta dari tradisi yang masih membumi
di bumi Sumba ini.
Tak akan ada habisnya memang untuk
bercerita tentang Sumba. Lebih baik kita datang saja sendiri ke pulau ini dan
menikmati segala pesonannya. Sumba, bagian dari gugusan kepulauan Sunda Kecil,
yang kering dan gersang, yang penuh misteri sekaligus menawarkan sejuta pesona,
yang menghadirkan ketakjuban, keharuan sekaligus kerinduan, seperti rindunya
penyair lintas zaman, Taufik Ismail (1970):
rinduku pada sumba adalah
rindu padang-padang terbuka
di mana matahari membusur api, cuaca kering dan ternak melenguh
rinduku pada sumba adalah rindu seribu ekor kuda
yang turun menggemuruh di kaki
bukit-bukit yang jauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar