Kamis, 29 Juni 2017

SUMBAKU SASTRAKU




Bukanlah sebuah ilusi Sumba yang menawan
Bukan pula cerita dongeng layaknya negeri utupia
Tentang Sumba dihasut halusinasi pemburu sajak
Suara-suara padang menyamar bak deretan puisi kaldu

Keanggunan padang sabana membentang
Bercumbu sastra kerinduan Semesta
Dari punggung bukit menguning
Kuda sandel meringkik syair ilalang
Musafir sajak merajut mimpi bersama hening

Tentang pantai, pasir putih kilau berkelip
Anak pantai berlari membekas tapak kaki
Kicauan burung darat menebar kemesraan
Seumpama pasir tertuang puisi kedamaian
Puisi-puisi dari serpihan pasir jejak langkah

Dan rumah menjulang angkasa
Sejuk, teduh di bawah atap alang-alang
Barisan kubur purba terjaga sakral
Anak tanah memutar gasing di pekarangan
Ibu rentah menyulam kain mengukir sastra leluhur
Garis demi garis sajak terlukis menikmat

Tentang hutan rimba merimbun
Sang penyair menulis syair dedaun gugur
Menghidup alam kebutuhan hidup
Menebar harum mewangi cendana 
Berlimpah kayu kebaikan Semesta


Dengarlah suara sajak-sajak  ini
Jadikan Sumba satra kehidupan


Tambolaka, 29 Juni 2017


Rabu, 28 Juni 2017

DARI BALIK JENDELA KAMAR




Malam yang pekat diguyon semilir udara dingin
Dari balik jendela kamar tua
Aku menengok jauh langit berbintang
Jutaan bintang berkelip bagai metropolitan
Terang menawan mengusir kesunyian malam

Sedikit tanya dalam hati tentang risau
Tentang kabarmu yang putus
Sedang apa kamu di pulau sana malam ini?
Hatiku gelisah menunggu candamu yang hilang
Penuh tanya yang sulit kupecahkan
Malam ini dan malam sebelumnya selalu sepi

Aku terjaga pada kedua ponsel genggamku
Menghitung jam demi jam berlalu
Pesanku belum juga dibaca
Hatiku benar-benar kalut
Pikiran menerawang hampa
Sesekali aku melirik
Ponselku belum juga berdering

Jam dinding menunjukkan pukul 22:42 malam
Perasaanku semakin guyar tak menentu
Apa yang terjadi dengan dirimu?
Kamu tak ingin aku mengetahui perasaanmu?
Ataukah kamu sengaja membiarkanku tidur tak nyenyak?

Aku putuskan menunggu kabarmu hingga mentari
Segera kubuat kopi paling pahit
Agar aku senantisa terjaga sepanjang malam

Di atas meja kerjaku berada subuah laptop tua
Mungkin ini cara terbaik terbesit
Melupakan kegalauan sementara waktu
Kutulis gelisah ini dalam sajak kekuatiran
Dan berharap sauatu saat nanti tanpa terduga
Kamu dapat membacanya sambil tersipu senyum

Seduhan kopi pahit kuteguk perlahan
Kurasakan hangat mengalir dalam tubuh
Luas cakrawala pikir menuntun otak
Merangkai kata-kata sebaris kalimat nikmat
Jemariku menari lincah di atas tuts laptop
Gelisahku seakan terhapus oleh sajak-sajak tercipta

Oh malam penat semakin nyaman terlupakan
Sentuhan sajak-sajak mengobati pilur lara
Perlahan hilang oleh baris demi baris puisi
Terhanyut bagai dihipnotis luapan magic sastra
Bernyanyi merdu dalam hati kedamaian

Gelas kopiku tak kunjung habis
Kukecup senikmat mungkin...

Kring bunyi ponsel berdering
Aku menoleh sebentar
Namun hatiku tetap menikmat sajak
Kubiarkan sesaat temani damaiku
Aku tahu kamu satu-satunya pemilik nada itu

Lambang hijau kugeser tanda menerima
Suara indah menyapaku dengan halus
Selamat malam sayangku....

Malam ini dari balik jendela kamar
Aku menyaksikan kesakralan sajak-sajak
Menyentuh hatimu dengan santun
Sambil berbisik hubungi kabarnya malam ini

Kini aku sadar dan yakin
Puisi adalah bahasa jiwa tak terucap
Teduh membesarkan jiwa yang rapuh
Sebab kamu yang jauh di seberang sana
Merasakan nikmat aura sajak-sajak ini

Aku mencintamu dalam setiap puisiku

Tambolaka, 29 Juni 2017

SAJAK SUMBA




Sebuah kisah dari negeri marapu
Berawal di teluk tanjung sasar
Nenek moyang menginjakkan kaki
Bumi marapu getar mengguncang
Tetuah leluhur menjejak kehidupan

Tak mengenal tulisan bukan sekedar mitos
Tanah marapu kini melundak penghuni
Ragam bahasa dan budaya menyertai
Berpadu satu dalam cinta leluhur
Merajut kasih melestarikan Sumba jaya

Umbu Rambu, Ina Ama pewaris hikayat leluhur
Menyebar ke pelosok tanah tersanjung
Mengasuh ternak, menanam bibit
Mengasah hidup pertahankan kehidupan
Demi Mawulu Tau-Majii Tau

Kini Sumba bukan lagi tentang mitos
Tetapi sabda itu benar-benar hidup
Hidup dalam suku dan budaya beradab
Tentang hikayat yang selalu melindungi
Setiap urat nadi tanah marapu

Sumba, negeri adat dan surga sabana
Endapan rahim warisan terberkati
Tetap menjadi tanah keabadian terjanji
Bernyanyi dari padang-padang pengembaraan
Bersentuhan kasih terdalam
Antara alam dan semesta

Kini aku dan kamu adalah Sumba kita bersama
Dekaplah Sumba pada pijakan sama tanah marapu
Ronggeng dan menari lah dalam kemeriahan
Bersuka cita lah penuh kebahagiaan
Sumba ini adalah tanah sejuta impian

Tambolaka, 28 Juni 2017

BERPELUK ANGAN




Sebelum senja bercengkrama rindu
Tepat di bibir pondasi merekat beton
Nelayan-nelayan samudera menepi sampan
Menebar jala menyapu lautan luas
Teruntuk rambu di seberang sana
Aku ingin merangkai rindu sebaris sajak-sajak
Berpeluk canda kemesraan bersama senja

Senja ini memerah anggun bayangmu
Serpihan halus cakrawala membias angan
Kulihat kau duduk di pelaminan senja
Menerawang lautan berkelip cahaya jalan
Rambut ikalmu terurai emas memanjang
Layaknya permaisuri singgasana senja
Bermeterai mahkota putri sang rindu

Di bangku beton dermaga waikelo
Tempat sedekah rindu ku sujud
Memandang jauh lautan senja
Terpantul lampu jalanan dipunggung laut
Seolah menuntunku berpantun canda angan
Membiarkan kau berlalu selimuti senja
Merasuki nikmat angan terbang melambung
Mengejar bayang di negeri leluhurmu

Suatu waktu di pulau seberang sana
Tempat bermandi jutaan ikan paus
Akan ada senja sehebat ini berteduh

Perahuku masih di tengah badai lautan
Mengarungi samudera lepas mengamuk
Lekas saat senja merekah merah gumawan
Perahuku berlabu tenang di pelabuhan Lewoleba
Kau menghampiriku seanggun putri Lewotana
Menuang arak pada gelas kehormatan
Dan mepersilahkanku minum pada jamuan senja

Dolo-dolo iringan khas tarian sakralmu
Menuntun jemari lentur membentuk lingkaran
Bintang malam seakan takut menghilang
Terang benderang di angkasa jauh
Leluhur tuan rumah duduk berdebat
Memuncak tanda akan dimulai
Tua adat berdiri membawa arak terbaik
Minumlah anak.... ini adalah pesta suka cita

Senja semakin hitam menyentuh malam
Aku terbangun oleh sentilan klakson truk
Raga ini masih duduk di bibir pondasi
Bayangku mulai pudar menemui arah
Gerombolan semut sedang berpesta pada gelas kopi
Ah, kemana anganku mengembara?
Dan tersadar aku lupa membawa dompet


Waikelo, 28 Juni 2017

Senin, 26 Juni 2017

KUDA MALANG



Sadarlah hidup itu serapuh kertas buram
Dikoyak remuk membekas goresan
Tertuang sepasang tinta hitam biru ibarat pilihan
Maju melangkah atau mundur ke belakang

Bagai seekor kuda malang pada belantara kehidupan
Terlukis sketsa wajah dunia bak alam tak berwujud
Siang menjelang malam di bawah atap langit
Menuntaskan pilihan takdir merunduk atau menengadah

Merunduk bagaikan kesiagaan langkah semakin maju
Maka biru samudera kehidupan menuntun langkah tetap yakin
Menengadah bagaikan goyah langkah semakin mundur
Maka hitam pekat kehidupan fana menyimpan duka selamanya

Tidak tentang biru adalah tinta kehidupan
Tidak pula tentang hitam adalah tinta kefanaan
Jika hitam kau berani mengambil hikmah dan syukur
Maka biru samudera itu tetap nampak di angkasa malam

Layaknya kuda malang sesekali menengadah tanda syukur pada semesta
Terhimpit karang dan gersang badai kehidupan pun tak akan pernah mematikan
Senantiasa merunduk menjejaki hidup tanpa takut
Karena takdir bukanlah malapetaka kehidupan yang naif
Sebab perjuangan tak ubahnya dengan takdir sejalan beriringan

Tengoklah kuda malang itu di hamparan samudera
Sendiri maju menuntaskan perkara hidup
Ada hitam biru menderu dalam kehampaan
Namun ia sanantisa merunduk dengan kerendahan hatinya

Bila itu hitam maka bersyukurlah bahwa akan ada hikmah
Karena biru pun tetaplah perjuangan dan bukanlah akhir dari peziarahan

Tambolaka, 26 Juni 2017