Ikrar mulia dan sakral sebagai
wujud cinta dan bakti kepada sang pencipta, manusia, alam semesta bersama isi
dan penghuni jagad yang diam didalamnya.
Sabda leluhur yang bergaung, menyeruak dari tanjung sasar memenuhi sudut tanah
Marapu. Suara kehidupan penuhi bumi marapu, suara yang hidup dan tinggal
bersama umat marapu. Tanah marapu, tanah roh leluruh, tanah parai marapu, tanah
kehidupan manusia, ternak dan tumbuhan, tanah yang sakral nan suci tempat bersujud
sembah sang insan kepada pemilik kehidupan.
Tanah sumber kehidupan, hidup dan
tumbuh segala tanaman, padi, jagung, ubi dan kacang, tanah aliran air pelepas
dahaga, air kemurnian lambang kehidupan baru atas berkat melimpah sang leluhur
pemberi hidup. Tanah terberkati bagi segala keturunan, tempat mengais hidup dan
sumber isi lumbung. Tanah yang telah disumpah bagi keturunan, agar segala
keturunan taat serta menjaga setiap jengkal tanah dari penguasa dan pemodal tak
bermartabat.
Kini hamparan luas yang subur
hanyalah cerita kenangan purba, tersisa setapak jalan sempit dan lorong yang
pengap. Lumbung rumah kosong dimakan jaman, pohon-pohon raksasa nyaris
musnah di terpa badai kapitalis. Anak-anak bertopang lesuh menatap masa depan, umur
harapan hidup diukur oleh zat kimia, lantaran tanah kosong ditumbuhi bangunan
raksasa. Kuda, kerbau, sapi dan babi, meringis kelaparan berkepanjangan, tak
kuasa melihat padang belantara yang luas lenyap ditelan pagar tembok.
Gerak-gerik anak-anak dibatasi pagar
kedengkian, udara segar yang laus dan sehat ditutupi atap baja kokoh yang berjejeran sembari
menawarkan diskon 20%. Anak jalanan berhamburan mengejar nafkah, porak-poranda
kehidupan terkuras oleh kebengisan modal, harta warisan ditelanjangi, tanah leluhur
dijajan murah oleh lapar penguasa. Sampah humus berganti rupa menjadi sampah penyakit,
kotoran kimia berserakan penuhi tanah marapu, tanah leluhur, tanah yang sakral
dan suci. Langkah anak-anak pribumi ditakuti oleh pondasi serakah, dengan
mempertontonkan tulisan “tanah ini milik (.........”). Kehidupan yang
semestinya berubah menjadi baik, justru remuk di makan kontemporer.
Kelaparan anak marapu berkepanjangan,
rahim bumi marapu kehilangan nutrisi, jagung, padi dan ubi tertindis alat berat, membelah rahim leluhur. Leluhur
kehilangan tempat bersemedi, prahara sakit penyakit melanda tanah marapu, bumi
beserta isi satwa lenyap dimakan perut modern, nilai kultur sakral
dikesampingkan oleh jahanam bertopeng, wajah bumi leluhur dipoles bangunan cantik, memperkerjakan anak marapu demi sesuap
nasi. Mencerca secuap harapan pada bayi yang berbaring lemah di bale-bale
bambu, tanpa kelambu, tanpa alas kasur yang nyaman. Punggung lelaki paroh baya
bongkok memikul kebisingan jaman, berjuang menyelamatkan hidup, sedang anak kapatalis
berlagu kontemporer tidur nyenyak di bumi marapu bermimpi milenium.
Goresan duka menghantam anak
marapu, padang sabana gersang kering kerontang, langit enggan menangis
menurunkan air mata hujan, bumi marapu kehilangan wangi cendana dan gaharu,
lantaran sampah kebejatan penuh bertumpuk. Topeng-topeng kapitalis penuhi tanah
marapu, menjanjikan kesejahteraan rakyat jelata, iming-iming menyelematkan anak
marapu dari kemelaratan hanyalah akal busuk demi merajai seluruh tanah marapu. Perut
bumi leluhur hancur berantakan, pecah berkeping-keping digilas mesin penguasa.
Leluhur manangis sakit melihat keturunannya terlantar di tanahnya sendiri. Leluhur tak kuasa
menyaksikan putera/puteri mahkotanya tidur sengasara di bale-bale bambu.
Oh leluhur marapu......kami
anak-anak terlantar, datanglah dan selamatkan kami.
Mengutip Karya Taufiq Ismail dalam sebuah Puisi-nya
Beri daku sepotong daging
bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa
nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering
tanpa hujan ratusan hari
Beri daku tanah tanpa pagar,
luas tak terkata, namanya sumba
Tambolaka, 05 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar