Minggu, 11 Juni 2017

TANAH BERGANTI TUAN (TANAH HUMBA TANAH LELUHUR)




Ikrar mulia dan sakral sebagai wujud cinta dan bakti kepada sang pencipta, manusia, alam semesta bersama isi dan penghuni jagad yang  diam didalamnya. Sabda leluhur yang bergaung, menyeruak dari tanjung sasar memenuhi sudut tanah Marapu. Suara kehidupan penuhi bumi marapu, suara yang hidup dan tinggal bersama umat marapu. Tanah marapu, tanah roh leluruh, tanah parai marapu, tanah kehidupan manusia, ternak dan tumbuhan, tanah yang sakral nan suci tempat bersujud sembah sang insan kepada pemilik kehidupan.
Tanah sumber kehidupan, hidup dan tumbuh segala tanaman, padi, jagung, ubi dan kacang, tanah aliran air pelepas dahaga, air kemurnian lambang kehidupan baru atas berkat melimpah sang leluhur pemberi hidup. Tanah terberkati bagi segala keturunan, tempat mengais hidup dan sumber isi lumbung. Tanah yang telah disumpah bagi keturunan, agar segala keturunan taat serta menjaga setiap jengkal tanah dari penguasa dan pemodal tak bermartabat.

Kini hamparan luas yang subur hanyalah cerita kenangan purba, tersisa setapak jalan sempit dan lorong  yang  pengap. Lumbung rumah kosong dimakan jaman, pohon-pohon raksasa nyaris musnah di terpa badai kapitalis. Anak-anak bertopang lesuh menatap masa depan, umur harapan hidup diukur oleh zat kimia, lantaran tanah kosong ditumbuhi bangunan raksasa. Kuda, kerbau, sapi dan babi, meringis kelaparan berkepanjangan, tak kuasa melihat padang belantara yang luas lenyap ditelan pagar tembok.
Gerak-gerik anak-anak dibatasi pagar kedengkian, udara segar yang laus dan sehat  ditutupi atap baja kokoh yang berjejeran sembari menawarkan diskon 20%. Anak jalanan berhamburan mengejar nafkah, porak-poranda kehidupan terkuras oleh kebengisan modal, harta warisan ditelanjangi, tanah leluhur dijajan murah oleh lapar penguasa. Sampah humus berganti rupa menjadi sampah penyakit, kotoran kimia berserakan penuhi tanah marapu, tanah leluhur, tanah yang sakral dan suci. Langkah anak-anak pribumi ditakuti oleh pondasi serakah, dengan mempertontonkan tulisan “tanah ini milik (.........”). Kehidupan yang semestinya berubah menjadi baik, justru remuk di makan kontemporer.

Kelaparan anak marapu berkepanjangan, rahim bumi marapu kehilangan nutrisi, jagung, padi dan ubi  tertindis alat berat, membelah rahim leluhur. Leluhur kehilangan tempat bersemedi, prahara sakit penyakit melanda tanah marapu, bumi beserta isi satwa lenyap dimakan perut modern, nilai kultur sakral dikesampingkan oleh jahanam bertopeng, wajah bumi  leluhur dipoles bangunan  cantik, memperkerjakan anak marapu demi sesuap nasi. Mencerca secuap harapan pada bayi yang berbaring lemah di bale-bale bambu, tanpa kelambu, tanpa alas kasur yang nyaman. Punggung lelaki paroh baya bongkok memikul kebisingan jaman, berjuang menyelamatkan hidup, sedang anak kapatalis berlagu kontemporer tidur nyenyak di bumi marapu bermimpi milenium.

Goresan duka menghantam anak marapu, padang sabana gersang kering kerontang, langit enggan menangis menurunkan air mata hujan, bumi marapu kehilangan wangi cendana dan gaharu, lantaran sampah kebejatan penuh bertumpuk. Topeng-topeng kapitalis penuhi tanah marapu, menjanjikan kesejahteraan rakyat jelata, iming-iming menyelematkan anak marapu dari kemelaratan hanyalah akal busuk demi merajai seluruh tanah marapu. Perut bumi leluhur hancur berantakan, pecah berkeping-keping digilas mesin penguasa. Leluhur manangis sakit melihat keturunannya terlantar  di tanahnya sendiri. Leluhur tak kuasa menyaksikan putera/puteri mahkotanya tidur sengasara di bale-bale bambu.
Oh leluhur marapu......kami anak-anak terlantar, datanglah dan selamatkan kami. 

Mengutip Karya Taufiq Ismail dalam sebuah Puisi-nya
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku tanah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya sumba

Tambolaka, 05 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar